TELADAN dari dua UMAR

Umar bin Abdul Aziz membersihkan kedua tangannya. la berdiri. Di depannya nampak makam Sulaiman bin Abdul Malik, khalifah Bani Umayyah sebelumnya. Berdasarkan wasiat al marhum, Umar bin Abdul Aziz menduduki jabatan khalifah. Baru saja Umar bangkit berdiri, tiba-tiba ia mendengar suara riuh. "Ada apa?", tanya Khalifah kedelapan Bani Umayyah itu heran.
"Ini kendaraan Anda, wahai Amirul Mukminin," ujar salah seorang sambil menunjuk sebuah kendaraan mewah yang khusus disiapkan untuk sang khalifah.
Dengan suara gemetar dan terbata bata karena kelelahan dan kurang tidur, Umar berkata, "Apa hubungannya denganku? Jauhkanlah kendaraan ini. Se¬moga Allah memberkahi kalian." Lalu ia berjalan ke arah seekor keledai yang menjadi tunggangannya selama in!
Baru saja ia duduk di atas punggung hewan itu, serombongan pengawal datang berbaris mengawal di belakangnya. Di tangan masing masing tergenggam tombak tajam mengkilat. Mereka siap menjaga sang
khalifah dari marabahaya.
Melihat keberadaan pasukan itu, Umar menoleh heran dan berkata, "Aku tidak membutuhkan kalian. Aku hanyalah orang biasa dari kalangan kaum Muslimin. Aku berjalan pagi hari dan sore hari sama seperti rakyat biasa."
Selanjutnya, Umar berjalan bersama o¬rang prang menuju masjid. Dari segala penjuru orang orang pun berdatangan. Ketika mereka sudah berkumpul, Umar bin Abdul Aziz berdiri. Setelah memuji Allah dan ber¬shalawat pada Nabi dan para sahabatnya, ia berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dulu, memintanya atau pun ber¬musyawarah dulu dengan kaum Muslimin. Sesungguhnya, aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku. Untuk selanjutnya silakan pilih dari kalangan kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.'
Mendengar ucapannya itu, orang orang pun berteriak dengan satu suara, "Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin. Kami ridha terhadapmu. Aturlah urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.'
Banyak hal yang bisa kita teladani dari sikap hidup Umar bin Abdul Aziz. Selain sikap zuhud dan kesederhanaan, kita juga belajar wara' (menjauhi syubhat). Kisah dirinya ketika memadamkan lampu minyak saat menerima kedatangan anaknya, diabadikan oleh sejarah. la tak mau menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi atau keluarga.
Kits bandingkan dengan sikap pemimpin saat ini. Sulit membedakan mana harta mereka pribadi dan mana milik pemerintah. Berapa banyak para pejabat yang tetap menggunakan fasilitas negara saat kampanye yang nota bene untuk kepentingan sendiri.
Begitu pun setelah mereka berkuasa. Bahkan, mereka yang selama ini dikenal dekat dengan rakyat menjadi jauh. Akibatnya, mereka sendiri merasa tidak aman. Kemana pun pergi selalu dijaga ketat oleh para pengawal.
Kenyataan ini akan sangat bertolak belakang jika kita tengok jauh lagi ke belakang. Pada akhir abad 17 Hijriyah, misalnya. Saat itu kaum Muslimin sebenarnya sedang menikmati kemenangan pasukan mereka di Irak dan Syam. Namun di tengah kegembiraan itu, mereka dikejutkan oleh datangnya musim kemarau berkepanjangan. Selama sembilan bulan hujan tak turun. Bumi gersang dan penuh debu. Hewan dan tanaman menjadi korban.
Kondisi Madinah tak terlalu buruk. Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, Khalifah Kedua setelah Rasulullah saw wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya, dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong bondong, mengungsi di kota Nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan. Tapi lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Khaththab kala itu?
Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar benar menikmati makanan itu. "Agaknya, Anda tak pernah mengenyam lemak?" tanya Umar.
"Benar," kata Badui itu. "Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.
Mendengar kata kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat ini, "Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya," ujar Umar.
Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.
Kita diberikan pelajaran sangat berharga oleh dua Umar. Dengan meneladani kehidupan dua khafrfah itu, para pemimpin akan merasakan penderitaan rakyat. Perasaan inilah yang akan melipatgandakan perjuangannya. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan bisa berjuang kalau ia sendiri tak merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Sikap zuhud dan kedekatan dengan rakyat ini akan menenteramkan masyarakat. Kedekatan pada rakyat akan melahirkan kecintaan. Bayangkan dengan diri Rasulullah saw. Bagaimana mungkin rakyat tidak dekat dengannya kalau menjelang ajal pun beliau masih menyebut nyebut, "Ummati, ummati, ummati (umatku, umatku, umatku)." Kepedulian Rasulullah saw pada umatnya nyaris tak berbalas.
Kecintaan inilah yang akan menciptakan rasa aman. Kedekatan dengan rakyat berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan seorang pemimpin. Semakin dekat dirinya dengan rakyat, semakin tinggi juga tingkat rasa aman dirinya. Inilah yang menjelaskan mengapa kedua Umar, baik Umar bin Abdul Aziz maupun Umar bin Khaththab tak pernah mau dikawal. Mereka tak memerlukan pengawal karena merasa dirinya aman. Mereka terbiasa berkeliling di tengah gelapnya malam. Mereka juga biasa tidur tiduran di tempat umum. Tak ada rasa takut dan khawatir dalam diri mereka. Penyebabnya: mereka berlaku adil, bersih, dekat dengan rakyat, maka rakyat pun mencintainya.
DEMOKRASI : SUDAH MAHAL, KUFUR LAGI

Tak henti-hentinya pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Sepanjang tahun di negeri ini berlangsung pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur, sampai presiden, juga anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari tingkat kabupaten, kota, propinsi dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melangsungkan sebuah pesta demokrasi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan anggaran pembangunan dan belanja nasional maunpun daerah harus terkuras untuk membiayai pesta ini.
Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya pemilihan umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Untuk Pilkada kisaran biayanya juga fantastis, tengok saja biaya Pilkada DKI tahun lalu, sebesar 124 milyar. Di Jawa Timur lebih fantastis lagi, karena terjadi dalam dua putaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 800 milyar lebih. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya Pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir 25 Trilyun.
Biaya pemilu ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap calon kepala daerah, calon presiden maupun calon anggota legislative untuk partai. Seorang calon anggota legislatif ‘diwajibkan’ membayar Rp 200-300 juta untuk "kursi jadi", nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus menyerahkan setoran uang Rp 400 juta. Setiap caleg juga diharuskan membayar biaya administrasi Rp 16 juta untuk pengganti biaya administrasi (kabarindonesia.com,7/10/2008). Belum lagi biaya kampanye. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh dua calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya.
Jumlah biaya demokrasi itu tidak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudoyono Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 naik Rp 24 trilyun, 2006 Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 Rp 57 trilyun.
Dengan biaya pesta demokrasi yang sangat besar itu, benarkah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mensejahterakan rakyat? Nampaknya kita masih harus menerima kenyataan, dari biaya demokrasi yang sangat mahal itu, tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi itu ternyata justru menguras uang rakyat dengan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan karena para pemimpin ini sebelum menduduki kursinya sudah mengeluarkan ’biaya investasi’ yang cukup besar. Ketika mereka menduduki kursi yang diinginkan, maka saatnya investasi yang ditanam kini dituai dari dana APBN maupun APBD.
Said Amin, peneliti program The World Bank untuk kasus penanganan korupsi pemerintah tingkat lokal mengatakan, sampai Mei 2007 lalu, 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi. Para anggota DPRD dan kepala daerah dalam proses hukumnya kini ada yang masih tersangka, terdakwa dan ada pula telah divonis bersalah sebagai terpidana. Saat ini tercatat 159 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi di Indonesia, jumlah kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi itu mencapai Rp 3 triliun (kapanlagi.com, 31/5/2007).
Demokrasi bukan hanya menguras uang rakyat dengan membutuhkan biaya yang mahal tapi juga menghasilkan sistem yang rusak. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menyatakan, ada empat kebebasan yang dilahirkan oleh demokrasi yang berdampak pada kerusakan:
1. Kebebasan Beragama (freedom of religion)
Konsep kebebasan beragama, justru merendahkan derajat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya. Dia berhak meninggalkan aqidah yang diyakininya dan berpindah pada aqidah baru, agama baru atau kepercayaan non agama seperti animisme dan dinamisme. Dia juga berhak berpindah agama sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.
Dampak dari kebebasan beragama, justru memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu. Di Amerika, negara pengemban demokrasi banyak lahir ajaran agama selain Kristen. Sebut aja ada Klu Klux Klan, sekte Charles Manson terkenal di tahun 60-an karena melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita termasuk seorang aktris terkenal. Ada juga sekte Temple’s People yang dipimpin pendeta Jim Jones. Muncul juga nabi bernama David Koresh yang kemudian melakukan baku tembak dengan polisi federal AS (FBI), dan terakhir adalah sekte Gerbang Surga yang melakukan aksi bunuh diri massal di tahun 1997.
Agama-agama baru itu lahir dengan restu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Selama demokrasi dan HAM masih dipuja-puja, maka di masa mendatang akan terus berdatangan agama-agama baru dan nabi-nabi palsu. Kedatangan mereka bahkan akan dilindungi negara atas nama hak asasi manusia. Kalau nabi palsu dihujat karena membawa aliran sesat, seharusnya demokrasi dan HAM juga dihujat karena justru melindungi aliran-aliran sesat.
Padahal Allah SWT telah menegaskan dalam surat Al Maidah ayat 3 :
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian."
Dalam HR Muslim dan Ashhabus Sunan, Rasulullah SAW bersabda :
"Barang siapa mengganti agamanya (Islam) maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya."
Sehingga upaya-upaya untuk melanggengkan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan beragama sangat bertentangan dengan aturan syara’. Karena Allah SWT hanya mencukupkan Islam sebagai agama yang terbaik.
2. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)
Kebebasan berpendapat melahirkan pendapat-pendapat yang tidak mendasarkan pada standar halal haram. Pendapat yang liberal dan justru menjauhkan dari syariah dibebaskan. Tapi sebaliknya, pendapat-pendapat yang mengajak umat untuk kembali pada hukum-hukum Allah dan menegakkan kekhilafahan Islam, justru diberangus. Kebebasan berpendapat hanya diberikan untuk dukungan pada kebebasan itu sendiri tanpa aturan.
Bahkan atas nama kebebasan berpendapat, koran Nerikes Allehanda, Swedia, pada 18 Agustus 2007 lalu memuat kartun Nabi Muhammad dengan kepala manusia berserban dan tubuh seekor anjing. Masih atas nama kebebasan berpendapat, George Walker Bush mengajak pemimpin muslim untuk memerangi kembalinya syariah dan khilafah. "We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call muslims to restore caliphate and to spread sharia"(kita harus membuka bab baru perang melawn musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di awal abad ke 21 menyerukan kaummuslim untuk mengembalikan khilafah dan menyebarluaskan syariah) (www.demaz.org)
Dalam Islam, kekebasan berpendapat tidaklah mutlak, tapi didasarkan aturan syara’. Seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat Al Ahzab 36 :
"Dan tidaklah patut bagi laki0laki yang mukmin, Apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."
Di ayat yang lain Allah memperingatkan dalam surat An Nisa 59 :
"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir."
3. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)
Ide kebebasan atas kepemilikan melahirkan para kapitalis. Kapitalisme juga melahirkan koruptor-koruptor yang menghalalkan segala cara untuk mengejar materi duniawi. Siapa memiliki modal, bisa berkuasa atas sesuatu termasuk sumber daya alam yang sebenarnya menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, atas nama kebebasan kepemilikan, hak pengelolaan hutan, air, minyak, dan kekayaan alam lainnya diserahkan pada pihak-pihak tertentu. Karenanya rakyat tidak mendapat porsi yang seharusnya, tapi hanya menjadi penonton segelintir orang yang mengeruk kekayaan alam.
Ironisnya pemerintah justru memfasilitasi kebebasan kepemilikan ini dengan sejumlah aturan yang menjamin kebebasan kepemilikan atas sumber daya alam. Misalnya dengan menetapkan UU Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Alam, dan lain-lain.
Atas nama kebebasan kepemilikan, negara-negara kapitalis berebut menguasai sumber daya alam negara lain. Akibatnya, rakyat menjadi korban krisis bahkan pertumpahan darah tak bisa dihindari. Seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, Asia, termasuk Indonesia.
Ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan kebebasan kepemilikan. Islam memerangi ide penjajahan dan perampokan kekayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta, pengembangannya dan cara-cara pengelolaannya. Islam tidak memberikan kebebasan pada individu untuk sebebas-bebasnya mengelola harta yang dikehendakinya. Islam mengikat dengan hukum syara’ misalnya larangan memiliki harta dengan cara-cara yang batil. Harta yang diperoleh dengan cara batil, pada pelakunya akan dikenai sanksi.
4. Kebebasan Berperilaku (personal freedom)
Kebebasan berperilaku sebenarnya telah merendahkan martabat umat. Ide ini telah menyeret orang pada perilaku yang serba boleh. Misalnya berjemur sambil menunggu matahari terbit tanpa berpakaian. Perilaku seksual yang menyimpang suka sesama jenis, pemuasan seksual pada anak-anak ataupun pada binatang. Dampak kebebasan perilaku, kasus perzinahan semakin merajalela, demikian pula aborsi, narkoba dan angka penderita HIV AIDS yang tidak pernah menurun karena bebas berperilaku.
Dalam sistem demokrasi, institusi keluarga telah dihancurkan. Rasa kasih sayang telah dicabut dari para anggota keluarga. Karena itu, menjadi pemandangan biasa di negara-negara barat, kehidupan single parent atau orang yang tinggal sendiri dan hanya ditemani binatang kesayangan.
Hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku. Tidak ada kebebasan bertingkah laku di dalam Islam. Setiap muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Jika seorang muslim melanggar perintah syara’ maka ia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam memerintahkan setiap muslim berakhlaq mulia dan terpuji. Menjadikan masyarakat sebagai masyarakat Islam yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai kemuliaan.
Demikianlah demokrasi menghancurkan umat dengan kebebasan yang diagungkan. Ketika manusia membiarkan dirinya tanpa aturan, maka yang terjadi adalah kesengsaraan, kenistaan, dan kebodohan. Lalu mengapa demokrasi masih dibanggakan?
Haram Mengadopsi Sistem Kufur Demokrasi
Seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalahNya. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 7 :
"Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah."
"Maka demi TuhanMu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan."(QS An Nisaa’ 65)
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul(Nya).
Sabda Rasulullah SAW :
"Siapa saja yang melaksanakan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka parbuatan itu tertolak." (HR Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang mengada-adakan urusan (agama) kami ini, sesuatu yang berasal darinya, maka hal itu tertolak."
Dalil-dalil ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti syara’ dan terikat dengannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Apakah hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah juga melarang kaum muslimin mengambil hukum selain hukum dari syariat Islam. Allah berfirman:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada toghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan mengingkari toghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS An Nisaa 60).
Berdasarkan penjelasan nash dan hadis maka kaum muslimin dilarang mengambil peradapan/kultur Barat, dengan segala aturan dan undang-undangnya. Sebab peradapan tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan perundang-undangan yang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil. Sebagaimana Umar Bin Khatab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.
Hal ini karena peradaban Barat itu memisahkan agama dengan kehidupan dan memisahkan agama dari negara. Peradaban Barat dibangun atas asas manfaat dan menjadikannya sebagai tolok ukur perbuatan. Sedangkan peradaban Islam didasarkan pada Aqidah Islamiyah yang mewajibkan pelaksanaannya dalam kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara’. Peradaban Islam berdiri atas landasan spiritual yakni iman kepada Allah dan menjadikan prinsip halal haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah yang memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sementara peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah teraihnya ridla Allah SWT, yang mengatur pemenuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum syara’.
Atas dasar itulah, kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem kebebasan individu yang ada di negeri-negeri Barat. Karena itu kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank riba, sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua hukum dan peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.
Syariah untuk Kepentingan Rakyat
Mengutip tulisan Budi Mulyana, dosen FISIP UNIKOM Bandung, syariah Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Pribadi-pribadi yang salih akan terbentuk dengan keimanan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tetapi ada pertanggungjawaban di akhirat yang akan menghisab apa yang dilakukan di dunia.
Dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah ilahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam. Dalam konteks kesejahteraaan, Islam membagi bumi Allah dengan kepemilikan individu, masyarakat dan negara dengan tepat sesuai dengan realitas faktanya. Dengan begitu, kebutuhan pribadi dapat dijamin; keinginan untuk menikmati kebahagiaan duniawi juga tetap bisa dilakukan; penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang menjamin hajat hidup orang banyak pun dapat dipastikan dijamin oleh negara.
Islam memberikan jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga Negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk pada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusan tawanan Perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum Muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Qibti Mesir, lalu oleh Beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).
Dengan jaminan tersebut, pendidikan, kesehatan dan keamanan sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik individu, partai juga para pemilik modal yang haus terhadap harta milik masyarakat.
Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt. serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. Allah Swt. berfirman :
"Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar" (QS at-Thalaq [65]: 3).
Allah Swt. juga berfirman:
"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu" (QS al-A’raf [7]: 96).
Alangkah ruginya negara ini, jika biaya besar yang telah dikorbankan untuk membiayai hajatan pesta demokrasi ternyata tidak menjamin kualitas pemimpin yang tebaik. Maka kegiatan ini hanya sia-sia belaka. Demokrasi jelas-jelas telah menyita pengorbanan rakyat sementara rakyat tidak memperoleh kesejahteraan tapi justru menuai kemiskinan. Sebaliknya, syariah Islam telah menjamin kesejahteraan rakyat. Penjaminnya adalah Allah SWT. Syariah Islam hanya bisa diterapkan dengan sistem khilafah. [ Sumber : http://hafidz341.net76.net/Alpen-Prosa/Demokrasi-Mahal-dan-Kufur.html]
Abdurrahman Bin 'Auf - Saudagar yang DIJAMIN SURGA

Pada suatu hari, kota Madinah sedang aman dan tenteram, terlihat debu tebal yang mengepul ke udara, datang dari tempat ketinggian di pinggir kota; debu itu semakin tinggi bergumpal-gumpai hingga hampir menutup ufuk pandangan mata. Angin yang bertiup menyebabkan gumpalan debu kuning dari butiran-butiran sahara yang lunak, terbawa menghampiri pintu-pintu kota, dan berhembus dengan kuatnya di jalan-jalan rayanya.
Orang banyak menyangkanya ada angin ribut yang menyapu dan menerbangkan pasir. Tetapi kemudian dari balik tirai debu itu segera mereka dengar suara hiruk pikuk, yang memberi tahu tibanya suatu iringan kafilah besar yang panjang.
Tidak lama kemudian, sampailah 700 kendaraan yang sarat dengan muatannya memenuhi jalan-jalan kota Madinah dan menyibukkannya. Orang banyak saling memanggil dan menghimbau menyaksikan keramaian ini serta turut bergembira dan bersukacita dengan datangnya harta dan rizqi yang dibawa kafilah itu.
Ummul Mu'minin Aisyah ra demi mendengar suara hiruk pikuk itu ia bertanya, "Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?" Mendapat jawaban, bahwa kafilah Abdurrahman bin 'Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya. Kata Ummul Mu'minin lagi, "Kafilah yang telah menyebabkan semua kesibukan ini?" "Benar, ya Ummal Mu'minin, karena ada 700 kendaraan!" Ummul Mu'minin menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari melayangkan pandangnya jauh menembus, seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat atau ucapan yang pernah didengarnya.
Kemudian katanya, "Ingat, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Kulihat Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan!'"
Abdurrahman bin 'Auf masuk surga dengan perlahan-lahan? Kenapa ia tidak memasukinya dengan melompat atau berlari kencang bersama angkatan pertama para shahabat Rasul? Sebagian shahabat menyampaikan ceritera Aisyah kepadanya, maka ia pun teringat pernah mendengar Nabi saw. Hadits ini lebih dari satu kali dan dengan susunan kata yangberbeda-beda.
Dan sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskannya, ditujukannya langkah-langkahnya ke rumah Aisyah lalu berkata kepadanya, "Anda telah mengingatkanku suatu Hadits yang tak pernah kulupakannya." Kemudian ulasnya lagi, "Dengan ini aku mengharap dengan sangat agar anda menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah 'azza wajalla!" Dan dibagikannyalah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya sebagai perbuatan baik yang sangat besar.
Peristiwa yang satu ini saja, melukiskan gambaran yang sempurna tentang kehidupan shahabat Rasulullah, Abdurahman bin 'Auf. Dialah saudagar yang berhasil. Keberhasilan yang paling besar dan lebih sempurna! Dia pulalah orang yang kaya raya. Kekayaan yang paling banyak dan melimpah ruah. Dialah seorang Mu'min yang bijaksana yang tak sudi kehilangan bagian keuntungan dunianya oleh karena keuntungan agamanya, dan tidak suka harta benda kekayaannya meninggalkannya dari kafilah iman dan pahala surga. Maka dialah ra yang membaktikan harta kekayaannya dengan kedermawanan dan pemberian yang tidak terkira, dengan hati yang puas dan rela.
Kapan dan bagaimana masuknya orang besar ini ke dalam Islam? Ia masuk Islam sejak fajar menyingsing. Ia telah memasukinya di saat-saat permulaan da'wah, yakni sebelum Rasulullah saw memasuki rumah Arqam dan menjadikannya sebagai tempat pertemuan dengan para shahabatnya orang-orang Mu'min.
Dia adalah salah seorang dari delapan orang yang dahulu masuk Islam. Abu Bakar datang kepadanya menyampaikan Islam, begitu juga kepada Utsman bin 'Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Maka tak ada persoalan yang tertutup bagi mereka, dan tak ada keragu-raguan yang menjadi penghalang, bahkan mereka segera pergi bersama Abu Bakar Shiddiq menemui Rasulullah saw menyatakan bai'at dan memikul bendera Islam.
Dan semenjak keislamannya sampai berpulang menemui Tuhannya dalam umur 75 tahun, ia menjadi teladan yang cemerlang sebagai seorang mu'min yang besar. Hal ini menyebabkan Nabi saw memasukkannya dalam sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira sebagai ahli surga.
Dan Umar ra mengangkatnya pula sebagai anggota kelompok musyawarah yang berenam yang merupakan calon khalifah yang akan dipilih sebagai penggantinya, seraya katanya, "Rasulullah wafat dalam keadaan ridla kepada mereka!"
Segeralah Abdurrahman masuk Islam menyebabkannya menceritakan nasib malang berupa penganiayaan dan penindasan dari Quraisy. Dan sewaktu Nabi saw, memerintahkan para shahabatnya hijrah ke Habsyi, Ibnu 'Auf ikut berhijrah kemudian kembali lagi ke Mekah, lalu hijrah untuk kedua kalinya ke Habsyi dan kemudian hijrah ke Madinah, ikut bertempur di perang Badar, Uhud dan peperangan-peperangan lainnya.
Keberuntungannya dalam perniagaan sampai suatu batas yang membangkitkan dirinya pribadi ketakjuban dan keheranan, hingga katanya, "Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak!"
Perniagaan bagi Abdurrahman bin 'Auf ra bukan berarti rakus dan loba. Bukan pula suka menumpuk harta atau hidup mewah dan ria! Malah itu adalah suatu amal dan tugas kewajiban yang keberhasilannya akan menambah dekatnya jiwa kepada Allah dan berqurban di jalan-Nya.
Dan Abdurrahman bin 'Auf seorang yang berwatak dinamis, kesenangannya dalam amal yang mulia di mana juga adanya. Apabila ia tidak sedang shalat di mesjid, dan tidak sedang berjihad dalam mempertahankan agama tentulah ia sedang mengurus perniagaannya yang berkembang pesat, kafilah-kafilahnya membawa ke Madinah dari Mesir dan Syria barang-barang muatan yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh jazirah Arab berupa pakaian dan makanan.
Dan watak dinamisnya ini terlihat sangat menonjol, ketika kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Telah menjadi kebiasaan Rasul pada waktu itu untuk mempersaudarakan dua orang shahabat, salah seorang dari Muhajirin warga Mekah dan yang lain dari Anshar penduduk Madinah.
Persaudaraan ini mencapai kesempurnaannya dengan cara yang harmonis yang mempesonakan hati. Orang-orang Anshar penduduk Madinah membagi dua seluruh kekayaan miliknya dengan saudaranya orang muhajirin, sampai-sampai soal rumah tangga. Apabila ia beristeri dua orang diceraikannya yang seorang untuk diperisteri saudaranya.
Ketika itu Rasul yang mulia mempersaudarakan antara Abdurrahman bin 'Auf dengan Sa'ad bin Rabi'. Dan marilah kita dengarkan shahabat yang mulia Anas bin Malik ra meriwayatkan kepada kita apa yang terjadi "... dan berkatalah Sa'ad kepada Abdurrahman, 'Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang kaya raya, silakan pilih separuh hartaku dan ambillah! Dan aku mempunyai dua orang isteri, coba perhatikan yang lebih menarik perhatian anda, akan kuceraikan ia hingga anda dapat memperisterinya.'
Jawab Abdurrahman bin 'Auf, 'Moga-moga Allah memberkati anda, isteri dan harta anda! Tunjukkanlah saja letaknya pasar agar aku dapat berniaga!' Abdurrahman pergi ke pasar, dan berjual belilah di sana. Ia pun beroleh keuntungan."
Kehidupan Abdurrahman bin 'Auf di Madinah baik semasa Rasulullah saw maupun sesudah wafatnya terus meningkat. Barang apa saja yang ia pegang dan dijadikannya pokok perniagaan pasti menguntungkannya. Seluruh usahanya ini ditujukan untuk mencapai ridla Allah semata, sebagai bekal di alam baqa kelak.
Yang menjadikan perniagaannya berhasil dan beroleh berkat karena ia selalu bermodal dan berniaga barang yang halal dan menjauhkan diri dari perbuatan haram bahkan yang syubhat. Seterusnya yang menambah kejayaan dan diperolehnya berkat, karena labanya bukan untuk Abdurrahman sendiri, tapi di dalamnya terdapat bagian Allah yang ia penuhi dengan setepat-tepatnya, pula digunakannya untuk memperkokoh hubungan kekeluargaan serta membiayai sanak saudaranya, serta menyediakan perlengkapan yang diperlukan tentara Islam.
Bila jumlah modal niaga dan harta kekayaan yang lainnya ditambah keuntungannya yang diperolehnya, maka jumlah kekayaan Abdurrahman bin 'Auf itu dapat dikira-kirakan apabila kita memperhatikan nilai dan jumlah yang dibelanjakannya pada jalan Allah Rabbul'alamin!
Pada suatu hati ia mendengar Rasulullah saw bersabda, "Wahai ibnu 'Auf! Anda termasuk golongan orang kaya dan anda akan masuk surga secara perlahan-lahan! Pinjamkanlah kekayaan itu kepada Allah, pasti Allah mempermudah langkah anda!"
Semenjak ia mendengar nasihat Rasulullah ini dan ia menyediakan bagi Allah pinjaman yang balk, maka Allah pun memberi ganjaran kepadanya dengan berlipat ganda.
Di suatu hari ia menjual tanah seharga 40.000 dinar, kemudian uang itu dibagi-bagikannya semua untuk keluarganya dari Bani Zuhrah, untuk para isteri Nabi dan untuk kaum fakir miskin.
Diserahkannya pada suatu hari 500 ekor kuda untuk perlengkapan bala tentara Islam, dan di hari yang lain 1500 kendaraan. Menjelang wafatnya ia berwasiat 50.000 dinar untuk jalan Allah, lain diwasiatkannya pula bagi setiap orang yang ikut perang Badar dan masih hidup, masing-masing 400 dinar, hingga Utsman bin Affan ra yang terbilang kaya juga mengambil bagiannya dari wasiat itu, serta katanya, "Harta Abdurrahman bin 'Auf halal lagi bersih, dan memakan harta itu membawa selamat dan berkah."
Ibnu 'Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak pula dengan menyimpannya. Bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang, "Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin 'Auf pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikannya kepada mereka."
Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu.
Pada suatu hari dihidangkan kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh, "Mushab bin Umair telah gugur sebagai syahid, ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya! Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahdukan pahala kebaikan kami!"
Pada suatu peristiwa lain sebagian sahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan di hadapan mereka, ia pun menangis; karena itu mereka bertanya, "Apa sebabnya anda menangis wahai Abu Muhammad?" Ujarnya, "Rasulullah saw telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan bagi kita?"
Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah, sedikitpun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya! Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya, "Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalnya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tak akan sanggup membedakannya dari antara mereka!"
Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan ibnu 'Auf dan jasa-jasanya, misalnya diketahuinya bahwa di badannya terdapat dua puluh bekas luka di perang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacad pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya, sebagaimana pula beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Di waktu itulah orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka berseri dan kulit halus, pincang serta cadel, sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin 'Auf! Semoga Allah ridla kepadanya dan ia pun ridla kepada Allah!
Sudah menjadi kebiasaan pada tabi'at manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan, artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan.
Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin 'Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabi'at kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya ke puncak ketinggian yang unik.
Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khatthab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih enam orang tokoh dari para shahabat Rasulullah saw sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.
Jari-jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan Ibnu 'Auf. Bahkan sebagian shahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah di antara yang enam itu, maka ujarnya, "Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah!"
Demikianlah, baru saja kelompok enam formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al-Faruk, Umar bin Khatthab maka kepada kawan-kawannya yang lima dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari enam orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas di antara mereka yang berlima saja.
Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim di antara lima orang tokoh terkemuka itu. Mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin 'Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang di antara mereka yang berlima, sementara Imam Ali mengatakan, "Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya pula oleh penduduk bumi!"
Oleh Ibnu 'Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lain pun menyetujui pilihannya.
Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islam! Apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh di atas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?
Dan pada tahun 32 Hijrah, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih terbaring di ranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di pekarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar.
Akan tetapi ia memang seorang Muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut!
Pula dahulu ia telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madh'un, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat shahabatnya itu.
Selagi ruhnya bersiap-siap memulai perjalanannya yang baru, air matanya meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata, "Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah!"
Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberi cahaya serta kebahagiaan yang menenteramkan jiwa. Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu, seolah-olah ada suara yang lernbut merdu yang datang mendekat.
Ia sedang mengenangkan kebenaran sabda Rasulullah saw yang pernah beliau ucapkan, "Abdurrahman bin 'Auf dalam surga!", lagi pula ia sedang mengingat-ingat janji Allah dalam kitab-Nya, "Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafqahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannnya dan tidak pula kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka beroleh pahala di sisi Tuhan mereka; Mereka tidak usah merasa takut dan tidak pula berdukacita." (QS Al-Baqarah [2]:262)
Sumber : Buku Rijal Haular Rasul (Khalid Muh.Khalid)
PERAYAAN VALENTINE DAY

SEJARAH HARI VALENTINE
"Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya." "Claudius II melihat St.Valentine mengajak manusia kepada agama nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya. Dalam versi kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine." Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama nashrani bersama 46 kerabatnya."
"Versi ketiga menyebutkan ketika agama nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan "dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini."
"Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat "dengan nama Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani."
"Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih," papar Sari, "Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut."
"Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati yang sebenarnya merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi!!!" Demikian Sari mengakhiri nasihatnya.
HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE
Saat ini kalau kita coba melihat disekeliling kita pemuda-pemuda muslim dan juga ABG muslimah yang membebek pada budaya ini, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine.
Apabila seorang muslim mengikuti kebiasaan orang kafir dalam perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaana maka apa bedanya mereka dengan orang kafir. Padahal Rasul telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam:
"Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR. At-Tirmidzi).
Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar. Ibnul Qayyim berkata, "Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari raya!" dan semisalnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyembah salib. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut.
" Abu Waqid radhiyallah 'anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath." Maka Rasulullah saw bersabda, "Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." (Al-Maidah:51)
"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22)
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah; ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka'at shalatnya membaca, "Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)